
Lampu menyala redup dibarengi suara musik dengan nyanyian seseorang dari dalam kamar mandi. Karpet berwarna merah tua dengan baju-baju kotor tertumpuk di kotak sebelahnya. Kasur masih berantakan dengan guling dan bantal yang sudah ada di atas lantai. Meja tertata rapi dengan satu buku masih terbuka dan sebuah laptop sebagai alasnya. Kondisi kamar tersebut lumayan rapi untuk seorang mahasiswa yang tinggal sendiri.
Jam dinding menunjukan pukul 8.45, alarm berbunyi membuat seorang laki-laki terburu-buru keluar dari kamar mandi dengan kondisi masih basah dan handuk yang menutupi setengah tubuhnya. Dengan wajah panik dia membuat lemarinya, mengambil laptop dan meletakkannya ke dalam tas lalu lari keluar tanpa lupa mengunci kamarnya.
“Gawat Pukul 9 ada jamnya pak Dion, kalo terlambat lagi aku bisa ga lulus.”
Aron, manusia yang baru saja berlari keluar dari kamar apartemennya dengan tergesa-gesa. Ia mencoba mengejar perkuliahan yang akan di mulai 13 menit lagi. Jalanan yang cukup padat membuatnya memilih untuk berlari saja menuju kampus yang sebenarnya hanya membutuhkan waktu 3 sampai 5 menit jika menaiki sepeda motornya dalam kondisi jalan yang lancar.
“Maaf, Permisi, oh Kumohon Maafkan saya.” ; “Rotinya satu ya pak, nanti pulang kuliah bayarnya.”
Beberapa kali Aron menabrak dan menyenggol orang yang ia lewati. Ia juga sempat-sempatnya mengambil roti di tempat langganannya tanpa membayar. Meski begitu orang-orang tidak marah. Kondisi seperti ini sering terjadi dan mereka justru tersenyum. Mereka adalah orang-orang yang tinggal dan bekerja di sekitar tempat tersebut. Baik Nenek-nenek yang suka ngerumpi di bangku taman hingga tukang koran bahkan orang-orang penting yang hendak berangkat kerja terbiasa dengan peristiwa pagi itu.
Sampailah Aron di depan gerbang kampusnya. Langkah laki yang cukup cepat mulai melambat bahkan sempat terhenti beberapa saat. Wajah paniknya berubah menjadi keheranan, dimana gerbang yang seharusnya sudah dibuka dari pukul 6 ternyata masih tertutup dan ditambah ada satpam yang berjaga di luar.
“Apa kampus libur ya” — Dalam hati Aron
Tak ingin berpikir yang aneh-aneh Aron tetap melanjutkan jalannya. Tanpa memikirkan gerbang dan satpam di sana ia meneruskan perjalanannya melalui pintu ajaib atau jalan pintas kecil untuk memasuki kampus. Memasuki kampus, Aron kembali berlari melewati gedung-gedung fakultas yang berdiri sendiri-sendiri. Ia akan mengikuti perkuliahan di gedung kuliah bersama yang berjarak lumayan jauh dari pintu ajaib. Aron sebenarnya masih merasa heran dengan gerbang yang tertutup ditambah ia sama sekali tidak melihat orang keluar atau masuk ke gedung-gedung yang ia lewati.
Rasa heran Aron semakin menjadi-jadi melihat mobil-mobil petugas keamanan berada di depan gedung kuliah bersama. Ada banyak personil petugas keamanan yang berkumpul di sekitar gedung.
“Apakah ada sebuah acara penting?” — Gumam Aron
Ia tetap melanjutkan langkahnya yang setelah dia benar-benar dekat dengan gedung, ada salah satu personil yang menghadangnya.
“Hei nak, apa yang kau lakukan di sini? Apa kau tidak mendengarkan pengumuman untuk tetap berada di kelas masing-masing?”
“Mohon maaf pak, saya baru sampai dan ingin mengikuti perkuliahan di ruang 09.013 di gedung ini.”
“Tunggu, kamu lewat mana? Apakah gerbang tidak dijaga?”
Aron menjelaskan kondisi gerbang seperti apa yang ia lihat berserta pintu ajaib yang ia lewati tadi. Petugas mengarahkan Aron untuk menuju ke sebuah mobil berwarna putih yang lebih terlihat seperti ambulan meski bertuliskan ‘POLICE’. Petugas tadi mengambil alat komunikasinya dan menghubungi rekan-rekanya untuk memberitahu keberadaan pintu ajaib.
Di sana ada seorang wanita dengan seragam yang cukup berbeda dari petugas lainnya dimana Aron mengenalnya, ia adalah Elen seorang Kepala Polisi. Ia juga merupakan salah satu orang yang tinggal di sekitar apartemen Aron dan sering memperhatikan Aron yang sedang berangkat kuliah dengan terburu-buru melewati depan rumahnya tanpa lupa saling menyapa.
“Aron?? Kenapa kamu ada disini?
“Tentu saja mau kuliah!!! Elen… sebenarnya apa yang terjadi.”
“HMMM… Ini di antara kita saja, ada sekelompok teroris yang baru saja menyabotase gedung ini. Sekitar 75% ruangan sedang dipakai perkuliahan dan mereka menjadi sandra. Ada beberapa bom yang dipasang, jadi kami harus bertindak dengan hati-hati. Dan satu lagi, paling tidak panggil aku Bu Elen saat aku sedang bekerja”
Wajah Aron menjadi pucat, ia teringat dengan teman-temannya yang ada di dalam.
“Tenanglah…”
Elen menepuk kepala Aron dengan lembut dan hal itu sudah cukup untuk menenangkannya. Aron yang tenang mulai berpikir, dan seolah sudah menjadi kebiasaannya saat ia berpikir maka kertas dan pena akan menjadi korban. Elen yang melihat Aron hanya tersenyum.
“Door…”
Sebuah ledakan kecil terdengar dari pot bunga di dekat pintu masuk.
“Kami peringatkan kembali, jangan mencoba-coba hal yang tidak perlu. Cukup penuhi permintaan kami maka semuanya sandra akan kami lepas. Jika tidak maka seluruh gedung ini beserta isinya akan kami ledakkan”
Sebuah suara yang sepertinya sudah disamarkan berbunyi dari alat komunikasi polisi. Suara itu dari pimpinan teroris yang telah membajak saluran komunikasi dan menguasai CCTV sehingga mereka bisa mengetahui gerak gerik orang yang keluar masuk gedung.
Aron yang sempat berhenti setelah mendengar ledakan itu kembali memainkan pen dan kertasnya. Dalam beberapa saat kertas yang awalnya putih bersih sudah penuh dengan coretan. Aron menyobek kertas dan memberikannya kepada Elen lalu mengambil langkah untuk pergi. Namun sebelum Aron berhasil, Elen menghentikannya. Elen memberikan sebuah perangkat kecil kepada Aron.
“CCTV dan Hati-hati” — Cukup sederhana tapi Aron mengerti maksudnya.
Aron mulai berlari dibarengi beberapa petugas yang memanggil dan bertanya-tanya apa yang sedang ia lakukan. Beberapa mencoba menghalangi Aron tapi tidak ada yang berhasil. Sampailah Aron di dalam gedung, tapi hanya beberapa langkah dari pintu salah seorang teroris memukul kepala aron dengan pegangan senjata laras panjang.
“Ini terakhir kalinya, setelah ini kami benar-benar akan meledakkan gedung ini. Dan perlu kalian catat, kami sudah siap mati”
Seorang teroris yang melumpuhkan Aron berbicara dengan lantang dan mengancam. Beberapa petugas menghampiri Elen dan menanyakan apa yang terjadi. Elen hanya menyuruh mereka untuk tetap tenang sambil melihat sobekan kertas yang diberikan Aron, dimana di dalamnya tertulis ‘BOM’. Sebuah pesan yang sangat sederhana dan tentunya Elen mengerti apa maksudnya.
Aron yang telah dilumpuhkan dibawa ke sebuah ruangan dimana di sana ada mahasiswa dan dosen yang menjadi sandra dengan satu orang penjaga.
“Hai paman, sebenarnya paman siapa?”
Aron yang sebenarnya hanya pura-pura pingsan bangun dan langsung memulai pembicaran dengan teroris yang menjadi ruangannya.
“Hai nak, kau tidak punya hak untuk menanyakan hal itu.”
“Ayolah paman, kalian terlihat keren. Tidak hanya bisa menggunakan senjata, bela diri kalian sangatlah hebat.”
“Tidak, aku tidak pandai Bela diri nak, aku adalah salah satu ahli strategi di sini.”
Teroris itu menyombongkan dirinya. Hal ini membuat Aron semakin menjadi-jadi dalam menanyakan sesuatu. Ia membuat teroris itu besar kepala dan mulai menceritakan kehebatannya. Hampir semua mahasiswa di sana tidak mengerti dengan tingkah Aron, tapi bagi mereka yang sudah mengerti langsung tertunduk diam dimana mereka sadar akan ketidakberdayaan mereka.
“Apakah paman juga salah satu yang merencanakan sabotase gedung ini?”
“Tentu saja, kan sudah paman bilang kalau paman merupakan ahli strategi.”
“Paman tolonglah ajari aku bagaimana cara menyabotase sebuah gedung, contohnya gedung ini.”
Meski menyebut dirinya ahli strategi, sebenarnya ia hanya seorang bawahan yang mudah dibodohi. Ia menjelaskan cara mereka menyabotase gedung termasuk menempatkan bom di gedung yang mereka tempati sekarang sambil menunjukan peta gedung. Teroris bodoh itu hanya kebetulan mengingat perencanaan sabotase gedung dan membawa map yang berisi titik-titik tempat bom.
“Paman… apa kau tidak takut mati?”
Teroris itu terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaan dari Aron. Ia merasa bingung dan mulai melamun memikirkan nasibnya. Aron yang melihat itu langsung mengambil pukulan ke arah teroris dan melumpuhkannya hingga pingsan.
“Tidurlah, dan jangan mati jika kau takut mati.”
Dosen dan mahasiswa yang mengetahui niat Aron langsung berdiri. Mereka membantu Aron mengikat teroris itu. Sedangkan mahasiswa lain masih terdiam tanpa tahu harus apa.
“Sekarang apa rencanamu?”
Dosen tadi menanyakan rencana Aron. Mahasiswanya juga menatap Aron menunjukkan isyarat bahwa mereka memiliki pertanyaan yang sama.
“Pertama aku ingin mengelabui CCTV, yah ada untung dan tidaknya disini tidak ada CCTV.”
Dosen yang mengerti maksud Aron langsung memberitahu salah satu CCTV yang mati di sekitar situ dengan jalan yang cukup aman dari CCTV lain. Meski CCTV mati tapi itu masih terkoneksi dengan server dimana hanya kameranya saja yang rusak. Aron yang mengetahui hal itu ingin segera pergi, tapi ia melihat ekspresi Dosen dan beberapa mahasiswa yang masih penasaran.
“Baik, kalian tidak perlu menunjukan ekspresi khawatir seperti itu. Ini adalah lantai pertama dengan jumlah ruangan yang sedikit, penjaganya juga tidak banyak. Cukup diam dan menunggu, jika ada penjaga datang maka tinggal lumpuhkan. Jika hanya satu dua itu mudah bukan? Jumlah kalian lebih banyak. Apalagi kalian bisa lihat tadi, tidak semua pandai bela diri.”
Ekspresi dosen dan mahasiswa tersebut mulai berubah. Mereka mengikuti saran dari Aron yang mulai meninggalkan ruangan. Dosen tadi juga mulai berbicara kepada mahasiswa yang masih meringkuk ketakutan di belakang ruangan, kondisi ruangan mulai dapat dikendalikan olehnya.
Aron menuju ke CCTV yang diberitahukan oleh Dosen tadi. Ia berjalan berhati-hati, ia tidak ingin ketahuan sebab meski tidak ada CCTV jika ada teroris yang melihatnya itu cukup berbahaya. Bukan karena pertarungannya tapi karena mereka membawa alat komunikasi. Setelah sampai pada tempatnya aron dengan sigap melepas CCTV dan mengkoneksikan kabel koneksi ke dalam perangkat yang diberikan Elen. Dengan perangkat itu CCTV hanya akan menampilkan video loop kejadian sebelumnya.
Setelah CCTV berhasil diamankan Aron langsung menuju ke lantai 2, ia juga tak lupa mematikan bom dengan kecerdasannya. Sesampai di lantai 2 Aron menghidupkan flash handphonenya untuk mengambil perhatian Elen. Aron memberikan isyarat jika CCTV telah dimatikan, ia juga memberitahu jika para teroris membawa alat komunikasi.
Pada peta dijelaskan jika bom berada di lantai ganjil jadi Aron berniat langsung ke lantai 3. Akan tetapi di sela-sela perjalanannya ia melihat salah satu ruangan dengan penjaga yang menyiksa sanderanya. Dari jendela belakang ia melihat seorang dosen duduk di kursi dengan kondisi penuh darah dan badannya terkapar di meja. Ia juga melihat seorang laki-laki berlari menuju kedepan ruangan dimana ada seorang anak perempuan tertunduk di hadapan seorang teroris yang hendak memukulnya. Laki-laki itu berhasil menghalaunya tapi sebagai gantinya ia yang terkena pukulan dan terjatuh. Melihat hal itu teroris tersebut langsung mengambil pistol di saku belakang dan mengarahkannya ke arah kepala laki-laki tersebut.
Aron yang melihat itu langsung berlari dan memasuki ruangan. Teroris terkejut dengan kedatangan Aron yang masuk dan langsung memukulnya. Tembakannya meleset dari target awal, tapi meski tidak mengenai kepala laki-laki itu seperti yang direncanakan, peluru tetap melesat dan mengenai dada laki-laki tadi. Aron terkejut dan terdiam, sementara Teroris mencoba berdiri dan menuju meja dosen untuk mengambil alat komunikasi yang ia letakkan di sana. Laki-laki yang tertembak tadi spontan menjegal langkah teroris dengan tangannya. Tindakan Laki-laki tadi tidak hanya menghentikan langkah teroris tapi membuat Aron kembali sadar dan mulai bergerak. Teroris yang menyadari hal itu langsung mengarahkan pistolnya kepada Aron. Tembakan dilepaskan dan tepat mengenai bahu Aron. Meski terkena sebuah tembakan, aron tetap bergerak dan melancarkan pukulan ke arah Teroris tadi tepat ke di kepala hingga tak sadarkan diri.
Tak hanya sampai situ, Aron tetap bergerak. Dengan bantuan beberapa mahasiswa lain langsung mengikat si teroris.
“Ala…”
Seorang gadis berteriak di hadapan Alan, seorang laki-laki yang tengah terlentang di depan ruangan karena terkena tembakan di dadanya. Teriakan tadi langsung dihentikan oleh Alan dengan tangannya.
“Tenanglah, jika kau berteriak mereka akan datang.”
“Bangunlah, aku akan membantumu.” — ucap Aron
“Apa yang coba kau tawarkan dengan kondisimu yang seperti itu? Pergilah aku tak apa.”
“Tapi…”
“Dekatkan telingamu. Kau khawatir dengan teman-temanmu bukan? Lihatlah di meja pengajar, aku tahu kau Aron meski kau tak mengenalku. Masih banyak ruangan, selain itu kau kesini untuk mematikan bom-bom bukan?”
Alan membisikkan beberapa kalimat kepada Aron. Ia mengetahui apa yang sedang terjadi dan mencoba membuat Aron bergegas untuk menyelesaikannya. Aron pun tak bisa mengelak dan kembali pada tujuannya. Saat ia hendak keluar ruangan, Ana, seorang perempuan yang diselamatkan Alan memberikan jaket tipisnya pada Aron.
“Aku tidak tahu harus bagaimana dan Ini mungkin tidak seberapa tapi cobalah tutupi lukamu. Lalu terimakasih telah menyelamatkan kami.”
Aron menerima dan membalas ucapan Ana hanya dengan sebuah anggukan lalu pergi. Sama seperti tujuannya ia langsung keluar dan kembali melanjutkan mematikan bom yang ada. Aron juga melumpuhkan para teroris dengan pistol yang dia dapatkan dari teroris yang ia lumpuhkan sebelumnya. Untungnya teroris-teroris suka memainkan pistol mereka, sehingga tembakan demi tembakan yang diluncurkan Aron tidak diambil pusing oleh para teroris. Lawan Aron bukanlah orang biasa, mereka mampu menggunakan senjata api. Tentunya tak sedikit luka yang diterima Aron entah hasil pukulan atau tembakan. Beberapa kali pula Aron berganti jaket yang merupakan pemberian dari orang yang ia selamatkan dan terkadang ia meminta tanpa ada penolakan. Itu dilakukan untuk menutupi lukanya agar tidak terlihat jika ia mencoba memasuki ruangan. Hal ini dengan maksud agar penjaga tidak menganggap Aron berbahaya sehingga Aron dapat memainkan siasatnya dalam bermain kata-kata ataupun serangan dadakan.
Sampailah Aron pada lantai 9, ia mematikan bom yang ada di sana dan langsung menuju ke ruang kuliah di mana seharusnya ia berada. Ia melihat dosen dan beberapa mahasiswa tertunduk berjejer di depan ruangan. Teroris tersebut bermain-main dengan pistol di tangannya, ia mencoba merandom target tembaknya hingga terpilihlah seorang perempuan. Teroris itu menendangnya hingga berada pada posisi tengkurap dan mengarahkan pistol ke arahnya.
“Bila”
Aron masuk dan memanggil nama perempuan tadi. Teroris yang mendengar suara Aron langsung reflek mengarahkan pistol dan melepaskan beberapa tembakan ke arah Aron yang sedang berlari. Dan tentu saja karena lawannya bukanlah orang biasa, semua tembakan mengenai tubuh Aron. Tapi dengan kondisi Aron yang penuh dengan adrenalin, tembakan itu seolah tidak terasa baginya. Ia terus berlari dan langsung melepaskan pukulan. Si teroris terjatuh, Aron dengan sigap mengambil pistol di saku dan menambahkannya pada kedua tangan teroris.
Kini teroris itu tidak dapat menggunakan tangannya. Meski begitu si teroris langsung berdiri dan menendang tangan aron yang mulai melenggang karena sudah merasa menang. Pistol yang dibawa Aron terlempar. Si teroris terus melepaskan tendangan demi tendangan dimana hanya beberapa yang dapat ditangkis Aron dengan tangannya. Rasa sakit akan tembakan tadi dan sebelumnya mulai terasa dan membuat Aron melambat. Pertarungan antara teroris dan Aron menjadi sangat imba dengan Aron yang sangat dipojokkan.
Bila yang melihat itu dan berhadap ada temannya yang membantu Aron.
“Bantu Aron!!!”
Terikana keluar dari mulut Bila sambil menutup matanya, tapi tak ada satupun temannya yang mendengar. Mereka semua panik sejak tembakan dilepaskan teroris yang kemudian ditambah tembakan dari Aron. Bila kembali membuka matanya dan ia melihat sebuah pistol yang dijatuhkan teroris berada di dekatnya. Ia dengan sigap mengambilnya dan mengarahkannya pada si teroris. Hanya saja ia tidak bisa menembak, ia merasa tidak yakin dan takut jika tembakannya mengenai Aron.
Aron yang terus menghindar dan menangkis beberapa serangan si teroris melihat Bila yang mengarahkan pistol ke arah pertempurannya. Aron mengambil inisiatif dengan menerima tendangan si teroris dengan perut bagian samping lalu menguncinya dengan tangan.
“TEMBAK!!!”
Teriakan Aron membuat keraguan Bila hilang dan membuatnya melepas tembakan. Si teroris berhasil dilumpuhkan. Aron menjatuhkan dirinya, ia terlalu lelah untuk berdiri. Bila yang melihatnya spontan berdiri dan menghampiri Aron, ia mengambil sweaternya yang ada di meja tempat Aron menjatuhkan diri. Bila menyelimuti Aron dengan sweater lebar itu. Mereka saling menatap dan tersenyum.
Sebuah getaran dari saku Aron. Aron mengambil handphonenya dan melihat notifikasi dari Elen yang mengatakan jika mereka masuk, sepersekian detik berikutnya sinyal handphonenya hilang. Aron tidak menggunakan handphonenya dari tadi sebab teroris telah membajak atau menyadap komunikasi di sekitar gedung. Dengan adanya tanda sinyal mati maka perangkat pengacau jaringan sudah berhasil dipasang dan diaktifkan para petugas.
“Hmm akhirnya…”
Aron menutup handphone lalu berdiri dan memakai sweater yang tadinya diselimutkan padanya.
“Apanya yang akhirnya?”
Salah seorang mahasiswa mendatangi Aron dan menanyakan apa yang terjadi dengan intonasi yang cukup tinggi.
“Begitukah sikapmu pada orang yang telah menyelamatkanmu? Hai kalian yang hanya bisa diam lebih baik kalian keluar dan turun, para petugas keamanan yang baik dan kuat akan membantu kalian.”
“Apa kau bilang?” — Mahasiswa tersebut tidak terima dengan perkataan Aron.
“Hentikan Rion” — Bila
Bila menghentikan Rion, mahasiswa yang tidak terima dengan perkataan Aron
“Bilaa….”
“Ikuti saja, mari kita keluar.”
“Apa kau yakin kita sudah bisa keluar?” — Pak Dio menyela
“Ya, keluarlah,,, semua sudah aman… di lantai bawah… Segera turun sebelum mereka yang di lantai 10 turun.”
Semuanya saling menatap dan mengangguk setuju untuk segera turun. Beberapa mahasiswa mengulurkan tangannya pada Aron yang sudah duduk di lantai bersandar tembok.
“Cukup turun saja, aku ingin istirahat.” — Aron
“Seperti yang kau bilang, masih ada orang di lantai 10, jadi kau juga…” — Salah satu mahasiswa
“SUDAHLAH… KELUAR SEKARANG!!! AKU BISA SENDIRI…”
Aron menolak uluran tangan itu dan membuat yang lain terkejut. Bila yang melihat itu langsung menunduk menatap Aron. Ia memberitahu yang lain untuk menuruti perintah Aron. Pak Dion yang sebelumnya hanya melihat juga menyuruh mahasiswanya untuk segera turun. Semuanya turun diawali oleh Rion dan di belakang ada Pak Dion lalu Bila berada di paling belakang.
Mereka keluar dan menuju tangga. Saat yang lain sudah mulai menuruni tangga Bila kembali ke ruangan. Pak Dion menyadari hal itu, tapi ia tidak menghentikan Bila, ia tahu apa yang terjadi.
“Aron”
Panggil Bila setelah ia memasuki ruangan. Ia tak melihat Aron di tempat terakhir. Bila berjalan ke belakang setelah mendengar suara aron yang sedang menahan rasa sakit. Ia melihat Aron dalam posisi tidur menghadap ke tembok dan sesekali berguling ke arah sebaliknya. Perlahan Bila mendekati Aron, ia mengelus kepala Aron. Aron yang menyadarinya mencoba bersikap dingin seolah tingkahnya dalam menahan rasa sakit sebelumnya hanyalah akting.
Bila mencoba membuka sweater dan jaket yang dipakai Aron. Awalnya aron menahan, tapi setelah melihat tatapan marah Bila tepat ke arah wajahnya, Aron mengalah. Bila terkejut sambil menutup mulutnya yang ternganga melihat baju polo putih Aron yang penuh lubang dan darah. IA MULAI MENANGIS.
“Kenapa kamu menutupinya?”
“Karena ini yang akan terjadi…” — Aron sambil mengusap pipi Bila yang mulai dibasahi air mata.
Bila duduk menyandarkan tubuhnya di tembok belakang, ia membuat Aron berada dalam posisi tidur di pangkuannya. Lalu menatap ke atap, merasa tidak percaya dengan kondisi Aron saat ini.
“Hei, berhentilah menangis… Aku tak apa, keluar dan turunlah” — Aron
“Tak apa katamu? Luka seperti ini kau bilang tak apa? How long? Berapa lama?”
“I don’t know.”
“Ini mungkin akan jadi yang terakhir, jadi tolong biarkan aku tetap bersamamu.”
“Bilaa…”
“Kenapa kau tidak langsung menggunakan pistol yang kau bawa untuk melumpuhkannya?
“Aku panik dan tidak bisa berpikir jernih.”
“Tolong jujurlah… ini hanya pikiranku saja, kau tidak ingin mengambil resiko akan keselamatanku. Satu dua tembakan belum pasti bisa melumpuhkannya. Selain itu kau juga tidak yakin akan tepat sasaran menembak sambil berlari dengan kondisimu yang seperti ini.”
“Hmm… aku benar-benar kalah telak kalau berdebat denganmu.”
Mereka berbincang-bincang dan beberapa kali tertawa. Bila berencana menggu Aron sambil menunggu bantuan datang. Sementara Aron masih sering menyuruh Bila untuk turun karena khawatir jika teroris di lantai 10 turun.
“Bil… tolong…”
“Aku minta tolong lebih dulu Aron… kamu tau kan kalau aku menyukaimu?”
“…”
“Diammu itu mengartikan iya… dan itu juga yang menjadi alasanmu menjaga jarak denganku… Hei Bisakah kau pertanyaanku? Apakah kau juga memiliki perasaan yang sama denganku?”
“Bil…”
“Tolong Jawab…”
“Bi…”
“Jawab saja….”
“…”
“Jawab aron…”
“…”
“Aron? Aron?”
Aron sudah tidak sadarkan diri. Bila panik dan tangisan semakin menjadi-jadi. Ia terus menerus memanggil nama Aron. ‘Duar’ suara pintu ruangan yang terbuka dengan keras pun tak dihiraukan oleh Bila. Dalam pikirannya hanyalah Aron dan Aron, Ia tak bisa berfikir jernih. Elen, ia masuk bersama beberapa rekannya. Elen menepuk kepala Bila dan mengelusnya hingga tenang. Sedangkan para rekannya mengevakuasi Aron.
“Tenanglah…”
Elen terus menenangkan Bila. Hingga tangisan Bila terhenti Elen kemudian memberikan sobekan kertas yang diberi Aron.
“BOM?”
“Baliklah…”
Bila membalik kertasnya dan melihat sebuah kalimat yang berbunyi ‘Bila menyukaiku, Akupun menyukainya. Jika terjadi apa-apa padaku bantulah dia untuk menemukan kebahagiaan barunya’. Membaca Bila tersenyum.
“Hingga akhir aku menunggumu untuk mengatakan langsung. Tapi tak apa, ini sudah lebih dari cukup. Terimakasih Aron.”
~Selesai~