Beberapa waktu lalu, saya sempat membahas mengenai QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan permasalahan optimisasi penerapannya. Diskusi ini dimulai setelah melihat sejumlah cuitan di Twitter dan berbagai sumber lainnya yang membahas tentang pedagang yang tidak menerima pembayaran melalui QRIS dari bank-bank tertentu.
Ketika itu, mungkin saya terlalu fokus pada membela para pedagang dan kurang memperhatikan perspektif aturan serta pendapat konsumen. Namun, setelah beberapa waktu, saya mulai mendapatkan pandangan lebih luas mengenai penggunaan QRIS, baik dari pengalaman pribadi maupun cerita orang lain.
Mari kita telaah lebih lanjut.
Baru-baru ini, saya mengalami situasi di mana saya membeli parfum dari sebuah pedagang yang dikenal secara nasional. Saya bertanya, "Apakah bisa menggunakan QRIS?" Kasir menjawab, "Tentu, QRIS-nya dari mana?" Saya menjawab, "Dari Gopay." Dan Respon kasirnya, "Jika menggunakan QRIS Gopay, akan dikenakan biaya 1%, tidak masalah kan?" Saya tidak terkejut dengan hal itu.
Umumnya, biaya transaksi QRIS untuk UMKM adalah 0.3%, tetapi dalam kasus pedagang besar, mungkin sekitar 0.7%. Namun, dalam situasi ini, biaya tersebut dibulatkan menjadi 1%. Mengapa saya tidak terkejut bahwa biaya ini ditanggung oleh konsumen? Karena ternyata ini sudah menjadi praktik umum di banyak pedagang (banyak cerita yang mengkonfirmasi ini). Bahkan, pengalaman saya ini masih lebih baik daripada pedagang yang langsung menetapkan biaya tambahan 1000 Rupiah untuk setiap transaksi melalui QRIS, yang berarti kita membayar 110% lebih banyak dari total yang seharusnya jika nominal belanjaan kita sebear 10ribu Rupiah.
Praktik seperti ini sebenarnya melanggar aturan, karena seharusnya biaya transaksi QRIS ditanggung oleh pedagang atau penjual. Beberapa waktu lalu, ada juga pertanyaan mengapa ada biaya 0.3% untuk QRIS. Sebenarnya, ini cukup wajar mengingat dari setiap transaksi senilai 10ribu Rupiah, biaya 30 Rupiah terasa kecil dan tidak perlu repot dengan uang kembalian dan sejenisnya.
Namun, jika kembali ke pembahasan sebelumnya, bagi pedagang kecil dengan margin keuntungan yang tipis, hal ini bisa menjadi kendala.
Ada hal menarik yang perlu dicatat. Sebelum membeli parfum, saya juga membeli minuman di pedagang yang juga dikenal secara nasional. Pada kasus ini, tidak ada biaya tambahan yang dikenakan pada konsumen (setidaknya pada pengalaman saya). Namun, di kasir terdapat beberapa mesin EDC dengan berbagai penyedia layanan pembayaran.
Pedagang ini menggunakan beberapa EDC dengan layanan berbeda, mungkin untuk menghindari biaya tambahan atau untuk memudahkan penyelesaian transaksi (settlement). Namun, informasi mengenai hal ini masih sangat terbatas.
Dalam beberapa kondisi, jika konsumen dan pedagang menggunakan penyedia layanan yang sama, mungkin tidak akan dikenakan biaya 0.7% atau 0.3% (ini hanya kemungkinan, tidak pasti).
Sayangnya, informasi pasti tentang hal ini sulit ditemukan pada beberapa situs penyedia layanan. Bahkan, pada platform Gobiz, hanya disebutkan bahwa akan ada "MDR (Merchant Discount Rate) atau potongan komisi untuk setiap transaksi GoPay dengan menggunakan kode QRIS," yang dikenakan kepada pedagang dan dipotong saat pencairan dana.
![]() |
Source : Gobiz |
Di sisi lain, strategi menggunakan beberapa EDC dengan layanan berbeda sebenarnya dapat mengurangi biaya settlement. Dalam kasus QRIS Interaktif, biaya settlement dari bank ternama mungkin 2ribu Rupiah untuk transaksi di bawah 50ribu Rupiah, dan 3ribu Rupiah untuk nominal lebih tinggi. Jika ditambahkan biaya 0.7%, ini tentu menjadi jumlah yang signifikan.
![]() |
Source : Interactive QRIS (qris.online) |
Pada platform Shopeepay sendiri terdapat ketentuan yang berbeda. Penarikan atau settlement dari bank tertentu dapat bebas biaya, tetapi bank lainnya dikenakan biaya 3ribu Rupiah. Biaya MDR ini akan ditanggung oleh pedagang (ini tertulis dalam syarat dan ketentuan pedagang Shopee, tetapi penggunaan QRIS-nya tidak dijelaskan dengan lengkap).
![]() |
Source : Shopeepay terms merchant |
Dari sudut pandang pedagang, ini mungkin terasa merugikan. Namun, mengingat manfaat penggunaan QRIS seperti rekam jejak transaksi dan menghindari uang palsu, tidak semuanya buruk. Tetapi tentu saja, ini lebih berlaku untuk pedagang besar dengan margin keuntungan yang cukup besar, yang tidak terlalu mempermasalahkan biaya penggunaan QRIS.
Namun, seharusnya pedagang tidak boleh melanggar aturan dengan membebankan biaya langsung kepada konsumen. Dari pengalaman saya, terdapat perbedaan antara nilai yang tertera dalam struk dan jumlah yang saya bayar melalui QRIS. Jika pedagang ingin menghindari biaya tersebut, mungkin lebih baik menaikkan harga barang daripada dengan terang-terangan mengatakan biaya ditanggung oleh pengguna.
Selain masalah di atas, penggunaan QRIS juga menciptakan risiko penipuan baru. QRIS yang ditempelkan di tempat-tempat seperti masjid atau toko-toko kecil tanpa sepengetahuan pemiliknya bisa menjadi ancaman. Bahkan sebagai konsumen, kita harus tetap memastikan bahwa nama pedagang yang muncul di smartphone sesuai setelah melakukan pemindaian QRIS untuk menghindari modus penipuan semacam ini.
Selanjutnya, masalah koneksi internet yang bervariasi di berbagai tempat di Indonesia juga menimbulkan keluhan. Terkadang, di beberapa lokasi, akses internet sangat lambat sehingga kita harus tetap menyediakan uang tunai
Oh ya, terakhir, penerapan transaksi QRIS dengan CPM (Customer Presented Mode), di mana konsumen menampilkan QRIS, masih terbatas. Baik dari sisi penyedia layanan maupun merchant, penerapannya masih sedikit.