Aku melangkah keluar dari pintu McDonald's, membiarkan angin malam yang dingin menyentuh wajahku seperti pengingat halus bahwa aku masih ada di sini—masih bernapas, meski rasanya tak lagi utuh. Langkahku cepat, nyaris tergesa. Ingin lekas meninggalkan tempat ini sebelum segala sesuatu yang kusimpan rapat-rapat kembali menyeruak ke permukaan.
Tapi sebelum sempat menjauh, sebuah tangan menarik lenganku—erat.
“Hei, kamu mau kabur ke mana?”
Suara itu menyentak kesadaranku, seperti batu kecil yang menciptakan riak pada genangan tenang. Aku menoleh, dan seperti yang sudah kuduga, dia berdiri di sana. Dengan senyum khasnya: ringan, menggoda, tapi tak pernah benar-benar jujur. Kakak. Bukan sedarah. Tapi dia satu-satunya yang tahu kapan aku butuh seseorang—terutama saat aku berpura-pura tidak.
Wajahnya terang, seperti biasa. Tapi aku tahu, selalu ada awan tipis yang mengendap di balik cerah itu. Sesuatu yang belum terucap.
“Aku udah selesai,” ucapku singkat. Datar. Kupikir itu cukup untuk menutup segalanya, seperti menekan tombol exit di tengah presentasi yang berantakan. Tapi aku lupa, dia tak pernah percaya pada akhir yang sederhana.
“Sebentar aja, ya.” Senyumnya mengembang, tapi sorot matanya berbeda. Tajam, penuh niat. Dan aku tahu—malam ini tak akan selesai hanya dengan ucapan singkat dan pelarian sunyi.
Dia menarikku masuk kembali ke dalam restoran. McDonald’s. Katanya netral. Tapi malam ini, tempat itu lebih mirip ruang pengadilan sunyi, tanpa hakim, tanpa juri. Hanya kami, dan satu sosok lain yang duduk di sudut ruangan: mantanku. Masih di tempat yang sama sejak aku datang tadi.
Kami bertukar senyum tipis. Rapuh. Nyaris tak terlihat. Tapi cukup untuk membuat hatiku tergerak—bukan oleh rindu, tapi oleh luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Di dekat pintu, kakak sibuk membujuk temanku agar pulang lebih dulu. Temanku sempat menatap tajam, seolah ingin berkata, “Aku udah bilang ini ide buruk.” Tapi aku hanya mengangguk. Mungkin memang begitu. Atau mungkin, ini memang harus terjadi.
Kakak menepuk bahuku. “Cuma ngobrol bentar.”
Tapi aku tahu, ngobrol dalam versinya berarti menggali reruntuhan. Membuka pintu yang sudah lama kukunci rapat. Kami duduk. Diam sebentar. Lalu dia mulai—seperti biasa. Dengan nada yang seolah lembut, tapi kata-katanya menggigit.
“Ada seseorang yang belum bisa move on, katanya. Masih mencintai seseorang yang bahkan mungkin sudah lupa.”
Aku tak menjawab. Karena aku tahu siapa yang dia maksud. Dan aku tahu siapa yang mendengarkan.
Lalu dia menambahkan, “Kenapa nggak coba lagi aja?”
Aku ingin tertawa. Pahit, tentu saja. Tapi yang keluar hanyalah kalimat sederhana: “Dia udah punya pacar.”
Tak perlu kutatap siapa pun. Tapi aku bisa merasakan udara di ruangan itu berubah. Sunyi tiba-tiba menjadi berat. Mantanku diam. Kakak juga. Tapi hanya sebentar.
“Kalau kamu masih suka, kenapa nyerah begitu aja?”
Aku menatapnya—benar-benar menatap. Mencari jawaban dalam sorot matanya, sebelum akhirnya menjawab pelan:
“Karena aku nggak mau jatuh di tempat yang nggak bisa kutinggalkan. Dan kalau aku jatuh lagi… aku nggak yakin bisa bangkit sendiri.”
Wajahnya menegang. Tapi dia mengangguk. Memahami. Atau setidaknya berusaha.
Kemudian, dia berkata sesuatu yang menancap lebih dalam dari semua argumen:
“Aku rasa… kalau kamu cuma punya satu hari lagi untuk hidup, kamu bakal milih ninggalin semua orang yang kamu sayang. Bukan buat nyelametin mereka. Tapi buat nyelametin dirimu dari nyakitin mereka.”
Aku tak bisa menjawab. Karena dia benar. Karena dia mengenalku lebih dari yang seharusnya.
“Buat apa kasih bahagia,” bisikku lirih, “kalau akhirnya mereka harus belajar kehilangan? Kita ini bukan film. Ending bahagia sering kali cuma milik yang cukup beruntung buat bertahan.”
Kakak menarik napas keras. “Tapi kamu terlalu baik buat hidup dengan logika kayak gitu.”
Aku menggeleng, pelan. “Nggak. Aku cuma terlalu sadar... bahwa waktu itu kejam. Dia nggak berhenti buat siapa pun. Bahkan buat orang-orang yang udah kasih segalanya.”
Diam. Lagi-lagi diam. Suara mesin soda di belakang kami terdengar seperti detak jam—menghitung waktu yang sebentar lagi habis.
Kemudian dia bertanya, lirih: “Kenapa kamu selalu menjauh?”
Aku mendongak, menatap langit-langit sejenak. “Karena kalau aku terlalu dekat… aku lupa kapan harus pergi. Dan kalau aku lupa, mereka yang akan terluka.”
Kakak tertawa—tipis, kering. “Memusatkan kebencian pada hal-hal yang akan hilang, supaya nggak terlalu sayang… itu kamu banget.”
Aku ikut tertawa. Hambar. “Kedengarannya kayak kutipan dari novel sadboy murahan.”
Kami tertawa bersama. Tapi tawanya seperti suara anak-anak di reruntuhan rumah—tahu mereka harus pergi, tapi belum tahu ke mana.
Malam terus berjalan. Dunia di luar semakin sepi. Kami melangkah keluar. Kali ini tanpa kata-kata. Kakak berjalan di sisiku, tenang. Tidak memaksa.
Sampai akhirnya, dia berkata lirih, seperti rahasia terakhir yang ingin dibisikkan malam:
“Aku cuma mau kamu tahu… apa pun yang kamu pilih… aku tetap di sini.”
Aku mengangguk. Tak mampu menjawab. Karena kalau aku buka mulut, aku tahu suaraku akan pecah. Dan yang ingin kukatakan sebetulnya adalah: Terima kasih. Karena bertahan, bahkan saat aku sudah memutuskan untuk pergi.
Kami terus berjalan. Tanpa arah. Dua bayangan yang tak tahu di mana ujungnya. Tapi di antara langkah-langkah itu, aku sadar satu hal:
Aku akan pergi.
Ke luar negeri. Mengejar sesuatu yang bahkan tak bisa kusebut dengan yakin sebagai mimpi. Tapi mungkin… di sana, aku bisa mati dengan tenang. Jauh dari tatapan yang terlalu mencintai.
Namun malam ini—hanya malam ini—aku izinkan diriku tinggal. Sebentar saja. Di samping seseorang yang pernah jadi rumah. Seseorang yang tetap ada, bahkan saat aku sudah menyiapkan pintu keluar.
Karena kadang… satu malam saja cukup. Untuk tahu bahwa kita pernah benar-benar hidup.