Pagi yang cukup suram untuk mentari yang tengah bersinar terang. Sebenarnya yang suram bukanlah hari-nya melainkan diriku. Melihat orang-orang berjalan ke sekolah sambil bergandengan tangan membuat diriku yang jomblo ini terlihat suram.
“Hi Ao, kenapa kamu diam dan menjauhiku beberapa hari ini? Apa salahku?” Seorang wanita datang dari belakang dengan menyapa dan memprotes atas tindakanku beberapa waktu ini kepadanya. Ia adalah Ann, tetangga, teman satu sekolah, serta teman masa kecilku.
Aku bingung bagaimana harus menjawabnya. Sekarang aku sedang tidak ingin berbicara dengannya dan ingin segera pergi dari sampingnya. Tapi sepertinya dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja kali ini. Pipinya yang menggembung menunggu jawaban dariku sungguh lucu, ingin sekali ku cubit salah satunya.
“Aooo…”
“Kenapa?”
“Kenapa kamu diam dan menjauhiku.”
“Aku tidak melakukannya, perasaanmu saja mungkin.”
“Lalu kenapa beberapa hari ini kamu tidak datang menjemputku dan berangkat sendirian.” Oh iya hampir setiap hari aku menjemput Ann dan berangkat sekolah bersama, tapi belakangan ini aku enggan menjemputnya.
“Aku sedang ingin sendirian saja dulu.” Sebenarnya ada beberapa masalah yang sedang kuhadapi kali ini. Beberapa hari yang lalu aku mengajak seseorang untuk berkencan tapi dia menolak dan salah paham mengenai hubunganku dengan Ann, oleh karena itu aku berusaha sebisa mungkin menjaga jarak dengan Ann. Meskipun kami selalu bersama tapi dibandingkan sebagai kekasih, kami lebih seperti sebagai adik dan kakak (aku kakak-nya tentunya). Selain itu jika aku terus dekat dengan Ann, itu akan mengganggu kisah romansanya di masa SMA ini : sama seperti yang baru aku alami beberapa hari lalu.
“Sedang ingin sendirian? Kenapa? Apa yang salah? Apa aku melakukan sesuatu yang membuat Ao marah?”
“Diamlah Ann, kamu berisik sekali.” Ohh tidak, aku keceplosan. Bagaimana Ann sekarang, bagaimana wajahnya? terakhir kali aku bilang begitu dia sangat marah.
Ann mendahuluiku dan aku tidak bisa melihat wajahnya. Dia orang yang sangat sensitif dan yang aku lakukan sudah keterlaluan. Aku harus bagaimana?
“Ao, pagi-pagi sudah bermesraan saja.” Roan, teman sebangkuku yang datang untuk menyapa dan mengejekku seperti biasanya. Tapi kali ini dia datang pada waktu yang tidak tepat.
“Ann…” Saat aku membalikkan pandangan dari Roan ke arah Ann, dia sudah pergi jauh sambil berlari.
“Apa? Pertengkaran suami istri kah?” Dengan muka bodohnya Roan tetap mengejekku.
“Kamu datang di saat yang tidak tepat Ro.”
“Tenanglah, nanti datang saja ke rumahnya dan minta maaf.”
“Huff…” Aku hanya bisa menghela nafas lalu berjalan menuju sekolah bersama Roan.
***
~Jam makan siang~
Oh gawat aku lupa membawa bekalku lagi.
“Roan tunggu, aku ikut.” Seperti biasanya Roan pasti pergi ke kantin, jadi aku ikut saja kali ini.
“Lupa bawa bekal lagi ya? Kenapa tidak minta ke istrimu saja?”
“Hey sudah kubilang berkali-kali ya, Aku dan Ann hanya teman masa kecil. Dia sudah kuanggap seperti saudara ku sendiri.”
“Ao” Ann kembali menyapaku dari belakang, bedanya kali ini dia seperti tidak bersemangat sama sekali. Dia menodongkan bekal makanan berukuran dua kali lebih besar daripada biasanya. “Titipan dari Mama, kamu lupa membawanya tadi pagi.” Mama adalah sebutan untuk mama-ku sedangkan aku dan Ann memanggil Ibunya Ann dengan sebutan Mami. Hal ini sudah direncanakan oleh dua sahabat itu semenjak kami kecil.
“Ah terimakasih Ann.” Aku menerimanya dan Ann pergi begitu saja. Mungkin dia masih marah, aku akan datang ke rumahnya nanti malam. Yang jadi masalah sekarang adalah bagaimana aku menghabiskan bekal ini. “Roan, mau kembali ke kelas atau ke atap? Aku tidak bisa menghabiskannya sendiri.”
“Oh bolehkan? Luckkyy…” Dia menerimanya begitu saja.
Aku dan Roan kembali ke kelas dan memakan bekal yang dibawakan oleh Ann.
“Kenapa kamu tidak makan bersama Ann saja?” Roan tiba-tiba bertanya.
“Kamu tau sendiri dia sedang marah, dia bahkan tidak banyak bicara saat memberikan bekal ini. Jika aku makan bersamanya mungkin akan terasa canggung?”
“Kukira bukan itu saja alasannya. Apakah ini karena kamu ditolak oleh Lyn?”
“Uhuk..” Aku tersedak teh yang sedang ku minum. “Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Kau pikir siapa aku? Meski bukan selama seperti Ann, aku tetap teman masa kecilmu. Gerak gerikmu itu memperlihatkan kamu sedang suka sama siapa. Kebetulan aku sedang mengikutimu saat kamu menyatakan perasaanmu pada Lyn dibelakang sekolah.”
“Hey itu bukan kebetulan. Kamu sengaja ingin melihatnya kan?”
“Ya begitulah.”
“Tapi setelah kamu tahu aku suka sama Lyn, kenapa kamu masih saja mengejekku dengan Ann.”
“Ah temanku ini sungguh bodoh dalam hal percintaan. Sudah lah, makan saja makan sebelum bel berbunyi.”
Kami melanjutkan makan dan membereskannya.
~Bel berbunyi~
***
~Waktu pulang sekolah~
Aku dan Roan tidak langsung pulang, hari ini ada kegiatan ekskul sepak bola. Sebenarnya aku tidak ingin berangkat karena di sini aku akan bertemu dengan Lyn. Ia merupakan manajer tim sepak bola di sekolah kami.
Tim sepak bola melakukan latih tanding dengan aku dan Roan dalam satu tim. Dalam latih tanding ini aku benar-benar tidak bisa fokus, ada Lyn di bangku cadangan yang sedang memperhatikan. Ini terasa canggung sekali.
“Ao… lihat bolanya…” Aku kembali tersadar dengan suara Roan yang memanggilku. Tapi itu sudah terlambat, bola yang datang ke arah ku dengan keras sudah berjarak beberapa senti saja dari kepalaku.
“Ao…” oh tidak… kepalaku pusing. Pandanganku mulai buram, aku hanya bisa mendengar suara teman-teman yang semakin keras atau semakin mendekat.
***
Masih terasa pusing meski tidak seperti awal, aku mulai membuka mataku dan dari posisi-ku saat ini aku melihat wajah Lyn dari bawah. Aku tidak ingin segera pergi dari posisi ini.
“Hey, tidak bisakah kamu berhenti menatapku seperti itu? Ini sungguh memalukan.” Lyn ternyata sadar dengan apa yang sedang terjadi.
“Oh maaf.”
“Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu sekarang, tapi apakah sesulit itu untuk melupakanku?”
“Entahlah.”
“Ao, apa yang aku lakukan terhadapmu adalah hal yang sama dengan yang kulakukan terhadap teman-temanku. Jadi maaf jika aku seperti memberi harapan palsu kepadamu.”
“Well, engga seperti itu. Treatment kepada seseorang dengan tingkatan yang sama adalah hal yang wajar, orang yang mendapatkan perlakuanlah yang perlu mencerna atau memperhatikan lawan bicaranya dengan baik.”
“Tapi…”
“Jangan anggap dirimu telah memberi harapan palsu, lakukan saja apa yang menurutmu benar. Jika kau membedakan treatment-mu kepadaku dengan sedikit merendah, bukankah saat itu aku akan merasa spesial?”
“Ya benar juga, perspektif seseorang dalam menilai suatu tindakan cenderung berbeda. Selain itu mungkin bagiku tindakan yang aku lakukan adalah hal yang biasa, tapi beberapa orang akan menganggap hal itu spesial karena jarang atau mungkin belum pernah menerima perlakukan seperti itu. Aku agak bingung harus bagaimana menghadapi hal seperti itu.”
“Aku sendiri kurang tau harus apa, tapi mungkin berkata jujur seperti yang kamu lakukan saat ini sudah lebih dari cukup. Tetap jadi diri sendiri, dan jika ada yang salah paham maka cukup jelaskan saja.”
“Okay, terima kasih sarannya.” Lyn tersenyum kearahku, tapi kali ini terasa berbeda. Perasaan suka ku terhadapnya sudah menghilang begitu saja. Ia adalah sosok yang sangat baik pada semua orang dan setelah menyadarinya perasaan yang pernah ada itu telah menghilang.
“Permisi…Kak Ao, apakah ada Kak Ao?” Beberapa perempuan dengan seragam bola voli sekolah kami datang dengan wajah yang panik.
“Ada apa? Aku Ao.”
“Kak Ann jatuh dan pingsan saat latih tanding. Kami disuruh memanggil Kak Ao untuk segera ke UKS.” Oh tidak, apa yang terjadi
“Lyn, bolehkah aku membolos kali ini?”
“Haha… kalian benar-benar serasinya, buruan sana.” Lyn menjawabnya dengan diawali tawa kecil. Aku bergegas mengganti pakaian dan berlari ke UKS.
Sesampainya di UKS, ada beberapa teman ekskul voli yang menemani Ann yang sudah sadar. “Ao, akhirnya kamu datang. Dia kelelahan, sepertinya dia belum makan tadi siang.” Teman Ann langsung yang melihatku datang langsung memberitahu tentang apa yang terjadi.
“Ann, apa kamu belum makan?”
Ann hanya terdiam dan mengacuhkan pandangannya dariku. Sepertinya ia masih marah dan enggan berbicara kepadaku.
“Bisakah kalian temani dia sebentar lagi? Aku mau keluar sebenar.”
“Baiklah… sebentar saja.”
Aku pergi ke kantin sekolah untuk membeli beberapa roti. Ya ini sudah beberapa waktu setelah jam sekolah berakhir, mungkin kantin sudah tutup. Tapi untungnya masih ada ibu penjaga kantin.
“Bu apakah masih ada roti dan susu yang masih tersisa?”
“Sebentar, sepertinya masih.” Ibu penjaga kantin memberikan roti yang sudah ia bawa dari tadi dalam kantong plastik lalu kembali masuk ke dalam toko yang sebelumnya telah ia tutup.
Ibu penjaga kantin keluar memberikan dua buah susu rasa coklat kepadaku. “Berapa bu?” Aku yang jarang pergi ke kantin tentu tak tahu berapa yang harus ku bayar.
“Tak usah nak, ambil saja.”
“Eh jangan begitu bu.” Aku mengambil uang yang ada di sakuku yang sepertinya lebih dari cukup untuk membeli semua yang telah kubawa ini, lalu memberikan pada ibu penjaga kantin dan lari.
“Eh…eh… nak ini kelebihan. kembali…” Beliau yang terkejut melihat tingkahku kembali menyerukan diriku untuk kembali.
“Tidak apa bu, ambil saja kembaliannya.” Aku hanya lanjut berlari ke arah UKS.
Sesampainya di sana, mereka masih ada di dalam tapi sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat. Tepat saat aku membuka pintu, disana aku melihat Ann sedang berganti pakaian.
“Hei ketuk dulu pintunya…” Ann menutupi tubuhnya dengan selimut UKS sedangkan teman-temannya melempariku dengan barang apa saja yang bisa dilempar.
“TUTUP PINTUNYA!!!” Ann berteriak dan membuatku yang tertegun melihatnya tersadar. Ku tutup pintunya.
***
“Sudah, kau sudah boleh masuk.” Mendengar instruksi itu tentu aku langsung masuk.
“Maaf…” Tentunya aku harus minta maaf bukan?
“Baik, baik… bisa kami tinggal sekarang?” Teman-teman Ann berpamitan dan pergi begitu saja.
Aku hanya menodongkan roti dan susu kepada Ann. Aku tak tahu harus bagaimana, aku ingat dia masih marah dan ditambah kejadian tadi aku semakin bingung harus apa.
“Terima Kasih…” Akhirnya Ann mau berbicara lagi padaku, dia duduk di kursi dan memakan roti tersebut.
“Kenapa kamu belum makan? Bekalmu?”
“Ann tidak sempat membuatnya.”
“Maaf…” aku benar-benar tidak sadar dan tidak berpikir jika porsi besar hari ini adalah untukku dan Ann.
“Ummm…ya.” Mendengar jawaban Ann aku semakin yakin dengan hal itu.
“Maaf juga atas ucapanku tadi pagi.”
“Tidak, Ao tidak salah… Ann memang orang yang sangat berisik. Ann terlalu mengganggu dan merepotkan Ao selama ini.”
“Tidak-tidak, Ann sudah seperti adikku sendiri jadi jangan khawatir tentang hal itu.” Dan entah kenapa wajah Ann kembali cemberut, ia kembali tidak mau menatapku.
“Gendong.” Eh he… aku hanya bisa terkejut dengan tingkah Ann. Tapi mau bagaimana lagi, ia habis pingsan.
Aku menggendong Ann dan berjalan pulang.
“Kenapa Ao menganggap Ann seperti adik?”
“Karena Ao ingin begitu?”
“Jangan balik nanya dong…” Ann menggigit telingaku. “Apakah Ao ingin Ann menganggap Ao sebagai kakak?”
“Mungkin iya,,, beberapa orang memberikan treatment kepada orang lain dengan harapan mereka mendapatkan treatment yang sama atau setingkat.”
“Jadi Ann harus bagaimana?”
“Ya jadi diri Ann yang biasanya, jangan terpaku dengan harapan orang lain.”
“Lalu bagaimana jika Ao tidak suka dengan perlakuan Ann, tadi pagi saja Ao bilang Ann berisik.”
“Ann… aku kan sudah minta maaf.” Aku diam sejenak memikirkan jawaban yang cocok untuk pertanyaan Ann. “Sudah berapa lama kita bersama? sudah berapa lama kita bertengkar? Jika terhadap orang lain mungkin Ann perlu berfikir sebelum bertindak, tapi dihadapanku Ann tetaplah jadi Ann saja. Aku justru lebih tidak suka jika Ann bersikap seperti orang lain.”
Ann kembali menggigit telingaku dan diam begitu saja. Perjalanan pulang ini menjadi hening.
“Ann kita akan sampai.”
“Ao, Ann cukup jadi Ann saja kan?”
“Ya begitulah.” Aku sambil membuka pintu dan disana sudah ditunggu Mami dan Papi (Ayah Ann).
Aku membungkukkan badanku lalu Ann pun turun. Aku yang hendak kembali ke posisi berdiri tertahan oleh tangan Ann yang memegang kepalaku dan mendekatkan bibirnya ke telingaku sambil berbisik “Ann menyukai Ao…” lalu mencium pipiku. Aku tak mengerti apa yang terjadi, Ann lari begitu saja, Mami hanya tertawa kecil sedangkan Papi melototiku seperti tak terima.
“Berjuanglah Ao…” Mami berkata seperti itu dan langsung berbalik badan mengejar Ann.
“Pulanglah…” Papi dengan ekspresi menakutkan seolah mengusirku dari rumah.
Ya tidak ada pilihan lagi, aku pulang saja.