.jpg)
Dalam suasana malam di kedai kopi dengan nuansa coklat gelap, di pojok ruangan, Na duduk menunggu Di yang sedang menuju ke arahnya. Di menggeser kursi di depan Na dan duduk, sementara Na hanya mengamati sambil memangku dagu dengan tangannya.
"Berapa lama kamu sudah di sini?" Na mulai mengangkat dagunya dan meletakkan tangannya di atas meja dengan tangannya saling bersilangan.
"Hanya setengah jam lebih." Tak ada respons yang berlebihan dari Di, ia menjawab dengan wajah datar seperti biasanya.
"Hanya setengah jam? Cukup lama juga."
"Eh, tidak begitu... Baiklah, sekitar 30 menit." Di ingin memperjelas ucapannya.
Na tertawa kecil, "Tetap seperti biasa, responsmu memang kurang menyenangkan. Lagian, seseorang yang suka menulis seharusnya menggunakan bahasa yang lebih jelas." Ia tertawa, karena dugaannya mengenai respons datar dari Di terbukti. Meskipun begitu, melihat Na tertawa kecil, ekspresi Di menunjukkan bahwa ia senang, dengan menampilkan sedikit senyuman.
"Mau pesan apa? Seperti biasanya."
"Iya."
Di melambaikan tangannya dan menunggu pemilik toko yang sedang membersihkan melihatnya. "Pak, seperti biasa ya... tambahkan satu untuk Ao juga." Pemilik toko yang melihat dan mendengarnya mengangguk dan mengacungkan jempol. Ia sudah paham dengan pesanan tetap pelanggannya itu.
"Lalu, Ao sudah ada di jalan?" tanya Na.
"Aku tidak tahu... Aku belum sempat menghubunginya. Tunggu sebentar, aku akan mencobanya sekarang." Di setengah berdiri untuk mengambil handphone dari saku celananya dan mulai menelepon temannya yang belum datang. Namun...
'Cring...' 'Beep...' Lonceng pintu toko dan bunyi dering handphone terdengar bersamaan. Pada saat itu, seorang pria masuk, memegang handphone, dan melambai pada Di dan Na. Ia berjalan mendekat.
"Maaf, membuat kalian menunggu." Ia, Ao, langsung menggeser kursi di sebelah Di dan duduk, sambil menyimpan handphone kembali ke saku. Di pun melakukan hal serupa. Mereka sudah memiliki kesepakatan bahwa saat berkumpul, tidak boleh ada yang menggunakan handphone.
"Kalian berdua selalu terlambat, ya?" komentar Na sambil mengangkat alisnya, sementara Ao hanya tertawa dan mengucapkan kata 'maaf' beberapa kali.
“Baiklah, jadi masalah apa yang ingin kalian bicarakan?” tanya Na sambil mengepalkan tangannya dan memangku dagu dengan tangannya. Ia jelas menunjukkan bahwa pembicaraan serius akan dimulai.
"Oh, tidak perlu basa-basi ya?" protes Ao.
"Apakah ini berkaitan dengan Ann?" tanya Na dengan tajam.
"Ya, begitulah. Pagi tadi aku membuat Ann marah dan dia pergi begitu saja. Dia tidak menjawab pesan atau teleponku," jelas Ao.
"Apakah kamu melakukan sesuatu?" tanya Na tajam.
"Emm, ya... Aku bertanya padanya tentang perasaan sakit hati karena ditolak. Aku butuh pengalaman untuk menulis cerita. Aku sudah memberikan jawaban berdasarkan buku dan curhatan orang lain yang aku tahu. Tapi mungkin karena Ann tidak puas, aku menciptakan situasi untuk ditolak," jelaskan Di.
"Apa kamu mencoba mengutarakan perasaanmu kepada Ann dan membuatnya menolak?" tanya Na dengan tajam.
Ao menggelengkan kepala, "Tidak, aku tidak akan pernah berani melakukannya pada Ann. Aku tahu hubungan kami bisa hancur jika aku melakukan itu. Jadi aku mencoba melakukannya pada orang lain, dan Ann mendengarnya dari orang lain."
"Pantas saja," komentar Na sambil mengangkat alis.
"Tapi Ao, mengapa kamu perlu berbicara tentang hal ini dengan Ann? Apakah kamu sudah mencari masalah?" tanya Di.
"Sebenarnya ini lebih rumit daripada itu," jawab Ao. "Maukah kalian mendengar ceritaku?"
Di dan Na mengangguk, menunjukkan minat mereka. Ao pun mulai bercerita.
"Beberapa minggu yang lalu, aku bertanya pada Di tentang perasaan sakit hati karena ditolak. Jawabannya sudah jelas, tetapi aku merasa belum puas karena Di sendiri belum pernah mengalaminya. Jadi aku mencoba menciptakan situasi di mana aku akan ditolak oleh seorang perempuan ketika mengungkapkan perasaan cinta."
"Bagaimana kamu melakukannya?" tanya Di.
"Pertama, aku mencari target yang cocok. Tidak sembarang orang, karena orang asing hasilnya tidak akan bagus, dan orang yang kita kenal bisa menimbulkan masalah jika ada kesalahpahaman. Dan tentu saja, aku tidak ingin melakukannya pada Ann."
"Aku menemukan seseorang. Rekan kerjaku, Mawar. Dia ramah dan mudah didekati. Kami memiliki banyak kesamaan, termasuk main game. Kami sering bermain game dari pengembang yang sama. Melalui game ini, kami mulai berbicara dan berinteraksi lebih banyak. Saya bahkan mulai ikut acara-acara yang biasanya tidak saya ikuti di kantor hanya karena ada Mawar di sana."
"Mawar adalah perempuan yang berbeda dari orang-orang di tempat kerja kami. Dia punya banyak teman dan sangat mahir berbahasa Inggris, sehingga ia punya banyak teman dari luar negeri melalui media sosial. Dia juga suka bermain game yang jarang dimainkan orang lain."
"Kami mulai berbicara dan berinteraksi lebih sering. Kami punya cerita yang sama tentang game, dan kita mulai akrab. Orang-orang di grup game kami juga membantuku mendekatinya. Aku bercerita bahwa aku tertarik padanya, dan mereka mendukungku. Tidak lama kemudian, kami mulai bermain game bersama, berbicara melalui voice chat. Orang-orang di grup juga membantu mendekatkan kami."
"Saat bermain bersama, kami mengobrol dan berinteraksi dengan intens melalui chat dalam game. Kami berbicara berjam-jam dan mengirim pesan bolak-balik. Terkadang aku merasa terlalu jauh dan membuatnya benar-benar suka padaku."
"Kemudian aku membuat cerita tentang aku menyukai seseorang dan teman dekatnya menyukai aku. Aku bertanya kepadanya bagaimana perasaannya jika dia dalam situasi tersebut. Jawabannya membuatku puas."
"Namun, ada satu masalah. Dia ingin menjalin hubungan atau setidaknya mengetahui apakah dia suka padaku. Tapi dia takut dengan persetujuan ibunya. Dia berkata jika orang tuanya tahu, hubungan kami akan berakhir. Aku bertanya apa bedanya dengan bermain-main. Dia berkata akan lebih baik bermain-main daripada memulai hubungan yang berakhir saat orang tuanya tahu."
"Jadi, setelah itu kami berdebat tentang itu. Aku berkata kalau dia hanya ingin bermain-main, dan dia seharusnya tidak membuat hubungan berjalan begitu jauh jika dia hanya ingin bermain-main. Dan dia menyerahkannya dengan mengatakan bahwa dia lelah dengan masalah cinta dan akan memikirkannya nanti."
"Pada akhirnya, aku mengungkapkan perasaanku padanya dan memberinya alasan untuk tidak perlu membalas. Dia tidak menerima perasaanku, tapi tanggapannya membuatku bingung. Dia terkejut dengan pengakuan itu, tetapi juga mengatakan bahwa ia bersyukur memiliki teman seperti aku yang peduli dengannya. Dia berkata bahwa kami masih bisa berteman baik dan memainkan game bersama. Dia juga berkomentar tentang keberanianku."
"Aku merasa aneh. Aku yang merencanakan semua ini, tetapi hasilnya terasa aneh. Kami mungkin tidak akan bermain game bersama lagi, dan interaksi kami bisa berubah. Aku juga tidak mengerti mengapa dia memujiku karena merasa sudah berlebihan. Aku ingin minta maaf padanya, memberitahunya semuanya, dan kembali berteman baik dengannya. Tapi aku bingung harus memulai dari mana, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi."
Ao mengakhiri ceritanya, dan suasana menjadi hening sejenak. Kemudian Na berkomentar, "Kamu perlu jujur pada Mawar. Mintalah maaf jika perlu. Dan kamu juga perlu memikirkan bagaimana kamu ingin memperlakukan Ann dalam situasi ini."
"Benar, Ao. Jujurlah pada Mawar. Dan yang terpenting, berbicaralah dengan Ann. Jangan biarkan masalah ini semakin rumit," tambah Di.
"Kamu tidak sendirian, Ao. Kami di sini untuk mendukungmu," ujar pemilik toko dengan ramah.
"Dia benar, Ao. Ingatlah bahwa dalam menulis, kamu bisa mendapatkan inspirasi dari berbagai cerita kehidupan, termasuk cerita orang lain. Jangan hanya mencari inspirasi dari pengalaman pribadimu sendiri," kata Na.
"Kamu harus mendengarkan dan berbicara dengan orang lain, Ao. Terkadang, cerita mereka bisa memberimu wawasan yang berharga," kata Di.
Ao mengangguk, merasakan dukungan dari teman-temannya. "Terima kasih, kalian. Aku akan berbicara dengan Mawar dan Ann."
Mereka semua menikmati minuman mereka sambil berbincang-bincang lebih lanjut, saling memberikan nasihat dan dukungan satu sama lain. Kedai kopi yang tadinya hanya dipenuhi aroma kopi, kini juga dipenuhi oleh kehangatan persahabatan dan cerita-cerita kehidupan.