Dimas
Dimas Seorang manusia yang hobi menulis

Si Simple sedang Struggling [Cerpen]

Sebuah laptop silver berukuran 11 inci yang masih mulus dibuka oleh tangan kasar dari seorang pria berkepala dua. Malam ini adalah malam yang tenang baginya dimana ia dapat beristirahat setelah sekian minggu melakukan sebuah pekerjaan.

Dengan tangannya, ia beraksi pada trackpad berukuran kecil untuk membuka iMessage di laptopnya. Tanpa pikir panjang, langsung memilih salah satu dari 6 orang yang ia pin.

“Hai Ki, ada waktu? Aku mau ngobrol.”

Sebuah pesan singkat ia tunjukkan kepada temannya.

“Hayuk… Facetime?”

Membaca balasan tersebut, Dizi langsung menekan tombol facetime di laptopnya dan tanpa menunggu waktu lama, wajah seorang laki-laki yang seumuran dengannya muncul di layar.

***

Kik: “Hai, apa kabar?” - Sapa Kiki.

Diz: “Baik Ki, kamu gimana?”

Kik: “Baik juga, ada apa tiba-tiba mau ngobrol?”

Diz: “Ya, mau-mau aja, udah lama kan ga ngobrol.”

“Haha, iya juga sih… udah tiga bulan lebih sejak kamu merantau ke luar pulau. Gimana di sana?”

Diz: “Di sini aku masih struggling, gatau mau gimana lagi. Lamaran sana sini ga diterima.” - Dizi menundukkan kepalanya, memperlihatkan rasa stressnya yang ia pendam.

Kik: “Bukankah kamu di sana ikut pamanmu?”

Diz: “Bagaimana ya, mereka beranggapan bahwa seharusnya aku tidak di sini. Tidak dengan pekerjaan kasar. Orang pintar seharusnya bekerja kantoran.”

Kik: “Ha? kenapa begitu? lalu niatmu apa sekarang.”

Diz: “Aku tidak ingin muluk-muluk, aku hanya ingin mendapatkan pekerjaan lalu hidup mandiri, jika bisa aku ingin punya tempat tinggal sendiri.”

Kik: “Seperti biasa, manusia simple ini. Apa tidak ada keinginan lebih?”

Diz: “Jika memang ada kesempatan aku sebenarnya ingin memiliki usaha kecil-kecilan dulu, tapi untuk itu aku perlu punya modal dan tempat terlebih dahulu.”

Kik: “Kamu tidak apa-apa kan? Jangan bunuh diri ya.”

Diz: “Haha… aman, kamu sendiri bagaimana?”

Kik: “Aku sekarang masih freelance aja belum ada pekerjaan tetap. Ya jadinya perlu nabung untuk beli ini itu. Tapi oke lah…”

Diz: “Yah sekarang aku mengerti kenapa banyak yang bilang di umur segini bakal bimbang tentang tujuan hidup.”

Kik: “Semua orang punya tujuan, semua orang punya cita-cita. Tapi kadang semakin dewasa kita memilih jalan yang realistis ketimbang memaksa idealisme kita.”

Diz: “Sepertinya sudah lama aku tidak mengutamakan idealismeku. Bahkan sekarang aku cuma ingin mengalir saja. Jikalau aku mati sekarang, sepertinya oke-oke aja.”

Kik: “Hey ayolah, jangan ngomongin masalah mati. Kamu tidak se setres itu kan?”

Diz: “Aman… Cuma memang jika aku mati rasanya tak apa. Semua akan tetap berjalan normal.”

Kik: “Apa kamu tidak memikirkan hal lain seperti orang tuamu?”

Diz: “Sepupu ku juga bertanya tentang bagaimana amalan dan ibadahku saat aku berkata seperti itu. Jika tentang orang tua, mereka mungkin akan sedih… tapi semua akan kembali normal pada waktunya, aku juga sudah terbiasa tidak di rumah bukan? Tanpa aku mereka akan baik-baik saja. Lalu untuk ibadah, bukankah Dia yang menentukan, aku hanya berusaha melakukan kewajibanku dan berbuat baik lalu dia yang menentukan diterima atau tidaknya.”

Kik: “Kamu ini!!! Tapi yah tidak salah juga. Kelihatannya simple, mengalir saja… tapi rasanya lebih seperti tidak ada harapan. Kenapa?”

Diz: “Semakin tua kita, semakin banyak hal yang kita ketahui. Semua karena ada banyak perbandingannya.”

Kik: “Perbandingan?”

Diz: “Salah seorang tokoh yang berusaha menjelaskan tentang dimana tuhan kepada orang ateis, ia menggunakan perumpamaan jika hal itu menjelaskan warna hitam pada orang buta.”

Kik: “Maksudnya?”

Diz: “Apa yang orang buta lihat?”

Kik: “Tidak ada.”

Diz: “Coba kamu penjamkan matamu. Apa warnanya?”

Kik: “Hitam”

Diz: “Itu adalah warna yang dilihat oleh orang buta. Tapi apa mereka tahu apa itu warna hitam tanpa mereka tahu warna lainnya?”

Kik: “Hmmmmm…?!!!”

Diz: “Mereka senantiasa melihat warna hitam, tapi mereka tidak tahu jika mereka melihat warna itu. Karena mereka tidak tahu warna yang lainnya.”

Kik: “Lalu?”

Diz: “Dulu kita mungkin tidak tahu seberapa bodohnya atau rendahnya kita, sebelum mengetahui orang-orang yang ada di atas kita.”

Kik: “Sebentar - sebentar… gimana maksudnya?”

Diz: “Saat kamu melihat orang dibawahmu, kamu akan merasa kasihan karena kamu tahu ada orang yang lebih kasihan dibanding dirimu. Tapi saat kamu melihat orang di atasmu, kamu akan merasa kasihan pada dirimu sendiri yang kadang juga muncul rasa iri.”

Kik: “Oh benar juga ya…”

Diz: “Sekarang ini banyak yang bilang jika Gen-Z adalah anak yang lemah. Tapi, mungkin itu dikarenakan mereka mengetahui hal lebih banyak dibandingkan generasi sebelumnya pada umur tersebut.”

Kik: “Kenapa begitu?”

Diz: “Zaman sekarang dengan adanya teknologi, semua orang dapat melihat satu sama lain dari jarak yang jauh. Generasi muda yang melihat anak orang kaya menjadi pesimis ditambah dengan konten-konten pamer.”

Kik: “Mereka iri apa pesimis?”

Diz: “Ya salah satu atau keduanya. Tapi dari yang kualami, aku merasa pesimis dapat mengejar orang-orang yang sudah lama berada di atas.”

Kik: “Oh i know… Kita semasa kecil bersemangat mengejar cita-cita tanpa tahu bagaimana orang yang sudah ada di sana dan tak membandingkan diri kita dengan mereka yang memiliki jalan yang mulus. Paling kita dibandingin sama anak tetangga saja yang umumnya memiliki ekonomi yang sama dengan kita.”

Diz: “Yup… berbeda dengan zaman sekarang, yang kita lihat adalah sosial media dimana semua orang dapat saling tahu satu sama lain tanpa terpantau jarak. Yang miskin dapat melihat yang kaya, dan yang kaya dapat melihat yang miskin.”

Kik: “Menurutmu bagaimana orang kaya melihat orang miskin?”

Diz: “Menurutku ya, mungkin mereka ada yang merasa kasihan, ada juga yang sombong dan merendahkan orang lain karena mereka merasa sudah ada di puncak.”

Kik: “Jika kasihan dan membantu, bukankah itu hal positif? Lalu bagaimana dengan orang miskin? apa hanya rasa iri dan pesimis saja? apa hanya hal negatif yang mereka dapatkan?”

Diz: “Rasa iri itu juga dapat menjadi motivasi sehingga mereka berjuang dan mengejar apa yang mereka impikan hingga mereka dapat dikatakan sejajar atau lebih tinggi dari orang yang membuatnya ter-trigger.”

Kik: “Lalu kenapa kamu tidak menjadikan itu motivasi?”

Diz: “Semakin banyak aku melihat banyak hal, aku semakin dapat mendefinisikan berbagai hal termasuk kebahagiaan.”

Kik: “Bahagia?”

Diz: “Ya, dengan pengetahuanku yang sebatas ini, kebahagiaan adalah dimana kita merasa aman dan nyaman dalam artian kita cukup.”

Kik: “Bagaimana dengan uang?”

Diz: “Uang dapat membeli keamanan dan kenyamanan sehingga kita akan merasa bahagia, tapi pada umumnya manusia itu rakus dan selalu merasa tidak cukup.”

Kik: “Bagaimana denganmu?”

Diz: “Aku cuma ingin memiliki tempat yang disebut rumah dan dapat menjalani keseharian tanpa ada masalah yang berarti.”

Kik: “Bukankah itu membosankan?”

Diz: “Membosankan atau tidak, aku tidak tahu, sebab aku belum pernah merasakannya.”

Kik: “Bukankah kamu cukup melihat orang lain dan bertanya pada mereka? Pengalaman adalah guru terbaik, termasuk pengalaman orang lain.”

Diz: “Tidak!!! kamu salah… Guru yang terbaik adalah pengalaman yang kita rasakan sendiri.”

Kik: “Ha?”

Diz: “Memang benar pengalaman orang lain dapat menjadi salah satu guru yang terbaik… tapi tetap sesuatu yang kita rasakan sendiri akan menimbulkan kesan lebih dan pelajaran yang didapatkan bisa berkali-kali lipat.”

Kik: “Ohh… i see… jadi artinya kamu belum tahu impianmu itu adalah kebahagiaanmu atau tidak?”

Diz: “Bisa dibilang begitu, tapi setidaknya itu adalah impian yang paling dekat yang mungkin bisa kucapai dibandingkan menjadi orang kaya raya…”

Kik: “Lalu bagaimana jika kamu mati? bukankah tadi kamu bilang jika kamu mati itu bukan hal yang berarti… tapi sekarang akan berarti karena kamu tidak dapat menggapai mimpi itu.”

Diz: “Mimpi yang ingin kugapai bukan hal yang tinggi sehingga jatuh pun tidak akan terasa sakit. Kematianku mungkin tidak akan berarti apa-apa karena tanggung jawab yang kuemban tidak sebanyak itu.”

Kik: “Maksudnya?”

Diz: “Jika aku dalam kondisi sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak, maka aku memiliki tanggung jawab sebagai seorang ayah untuk menghidupi mereka dan ibunya. Jika aku akan mati maka tanggung jawab itulah yang bisa membuatku berusaha untuk tidak mati karena itu adalah hal yang besar.”

Kik: “Bagaimana dengan sekarang, bukankah ada orang tuamu.”

Diz: “Tanggung jawabku sebagai anak adalah berbakti dimana itu kita lakukan seumur hidup. Masalah yang mereka hadapi bukanlah tanggung jawab kita, tapi secara norma kita memang harus membantu mereka. Saat ini sudah ada adik dan kakakku yang bisa diandalkan. Saat kuliah aku sudah sering keluar kota dan sekarang aku berada di luar pulau dalam beberapa bulan. Mereka dapat berjalan tanpaku.”

Kik: “Hey ayolah… jangan mati.”

Diz: “Come on ki, kematian gabisa kita hindari. Aku saat ini bukan berarti ingin mati. Aku cuma berfikir jika saat ini aku mati maka itu bukan masalah… ya pada intinya aku tidak terlalu takut akan kematian. Aku akan mengikuti kemana mengalirnya hidup ini dimana tentu akan berakhir pada kematian bukan? Tenanglah aku bukan orang lemah yang akan bunuh diri tanpa melakukan sesuatu.”

Kik: “Syukurlah… tetap semangat mengejar mimpi simplemu… Aku juga akan mencari arti bahagia dalam hidupku…”

Diz: “Kay… semoga kamu menemukannya. Sudah dulu ya… terimakasih waktunya.”

Kik: “Haha,,, sama-sama… kapan kapan lagi ya… Daa…”

***

Dizi mengakhiri Facetime dan menutup laptop. Ini adalah akhir dari pembicaraan sepasang teman yang sama-sama sedang berjuang. Dizi berdiri, bergegas ke kamar mandi. Ia menggosok gigi dan membersihkan wajahnya lalu bersiap tidur.



~Selesai




Dimas
Dimas  Seorang manusia yang hobi menulis

Komentar

Video Terbaru