‘Ping’, sebuah suara notifikasi dari smartphone seorang pria di sebuah kursi coffeeshop mendekati waktu tutup. Ia membuka dan melihat sebuah pesan dari “Anna ya…” ucapnya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung membaca pesannya.
“Hai Zi, lagi dimana? Main yuk,” ajakan seperti biasa untuk bermain game online bersama. Terpaut jarak bukanlah halangan bagi mereka berinteraksi.
“Nanti ya, aku masih di kafe.” Dizi memainkan smartphone dengan jarinya. Di sisi lain, Anna menggunakan laptop sembari rebahan.
“Eh, tumben… berarti ini kamu pakai hp?”
“Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan tadi. Iya, ini pakai hp.”
“Hal apa, kok di kafe? Apa ada masalah dengan mantan pacarmu?”
“Kamu cenayang ya?” Dizi menjawab dengan tawa hening.
“Eh, beneran? Apa kalian jadi balikan?” Anna tidak benar-benar terkejut.
“Engga si, justru sebaliknya… aku cuma mau membuat hubunganku dengannya menjadi jelas, dan ya memang sudah tidak ada hubungan seperti pacar atau semacamnya.”
“Bukankah kamu sering bilang jika kamu masih punya hubungan seseorang dan masih menunggu waktu. Karena itu juga kamu ga dekat dengan perempuan lain.”
“Kamu tahu maksudku untuk itu kan ya?”
“Ya…” Bukanlah hal yang sulit bagi Anna mengetahui maksud dari Dizi. Anna sudah cukup mengerti apa yang dipikirkan oleh Dizi karena mereka dapat dibilang mirip dalam hal pemikiran. Perbedaannya mungkin dari gender dan kondisi lingkungan mereka saja, cara pikir mereka hampir mirip meski beda prosesnya.
“Tidak perlu dibahas lagi untuk itu kan.”
“Iya deh… cuma kalau boleh tahu, apa yang membuatmu menyukainya dulu?” Anna agak tertarik tentang selera orang yang cukup dingin dan bisa dibilang cuek terhadap perempuan.
“Aku belum pernah cerita jika aku sempat dibully waktu SMP kan?”
“Ya. Apa ada hubungannya?”
***Satu pesan cukup panjang dari Dizi***
Ini sudah cukup lama. Dulu aku masuk di sebuah SMP yang bisa dibilang sekolah untuk siswa buangan dari dua SMP favorit yang jaraknya cukup berdekatan.
Orang tuaku memaksaku untuk memilih SMP di pusat kota yang jaraknya 5 km dari rumah. Di sana aku sama sekali tidak memiliki teman dan memang harus memulai semua dari nol. Awalnya kupikir tidak akan menjadi masalah sama sekali, apa lagi aku juga lebih suka memulai dari nol jika dibandingkan melanjutkan kisahku waktu SD yang sempat dikucilkan di sekolah maupun di lingkungan rumah.
Tapi semua tidak semudah itu. Sungguh kesialan yang tidak masuk akal, kelas yang awalnya genap menjadi ganjil karena ada yang mengundurkan diri sehingga harus ada yang duduk seorang diri. Pada awalnya bukan aku, tapi semua berubah ketika aku mulai berangkat sekolah dengan sepeda. Aku baru bisa berangkat pukul 6:30 atau bahkan sering 6:45 dengan gerbang ditutup pukul 7:00. Jika kamu nanti tanya “kenapa?” maka langsung aku jawab saja bahwa aku harus menunggu ibuku absen di kantornya dan memasak.
Jarak 5 km mungkin untuk sekarang adalah jarak yang dekat jika dengan motor. Tapi jika dengan sepeda dan dikejar waktu, tentunya harus buru-buru. Itu bukan hal berat, tapi hal berat datang setelahnya. Bau keringat membuat orang mulai membicarakanku dari belakang. Mereka memang tidak langsung mengatakannya, tapi aku tetap mendengarnya “Si Bau Kuduk,” kata mereka.
Dengan rasa minder, aku sadar diri dan memilih duduk sendiri sehingga tak menggagu teman yang lain. Tapi itu bukan menyelesaikan segalanya. Berbagai ejekan justru muncul secara langsung dan bertambah dengan olokan lainnya, seolah mereka beranggapan jika aku tidak akan marah atau mungkin karena tidak puas dengan sikapku yang cuek terhadap ejekan mereka. Aku juga sempat bermasalah dengan kelas olahraga yang bisa dibilang cukup kasar. Itu terjadi karena kesalahpahaman kecil, tapi karena posisiku sedang terpuruk, aku hanya bisa menerimanya.
Hal itu terus berlangsung selama kelas 7. Naik kelas 8 dengan kelas yang telah diacak. Aku mendapatkan teman sebangku yang sebelumnya sekelas denganku. Dia terpaksa, dan saat ada kesempatan dia berganti teman sebangku.
Pada akhirnya aku sendirian. Aku tetap memiliki teman sebangku tapi tidak pernah berbicara. Hingga… Ada dia datang. Dia berbicara dengan teman sebangku-ku. Membicarakan serial TV yang tayang tiap malam. Hal itu berlangsung hampir setiap hari. Teman sebangkuku berasal dari keluarga yang sedang kesulitan dalam hal ekonomi. Dia tidak pernah keluar saat istirahat dan hanya memakan bekal atau terkadang hanya makan permen. Di sela-sela itu, Dia berbicara dengan seorang perempuan. Aku yang pergi keluar untuk beli makan dan langsung dibawa ke kelas, tentu melihat dan mendengarkan interaksi mereka.
Sekian lama, aku hanya bisa mengamati mereka. Hingga entah arwah apa yang merasuki, secara spontan aku berkata, “Bisa berbicara hal lain ga si?” Mereka terdiam sesaat. Mungkin mereka terkejut melihat manusia yang sebelumnya diam saja, tiba-tiba berbicara pada mereka.
***Dizi langsung mengirimkan pesan yang belum selesai.***
Ia membayangkan masa-masa itu, masa-masa dia berubah. Anna membacanya dengan seksama sampai akhir. Mengetahui cerita masih menggantung, ia menggembungkan pipinya lucu, memasang ekspresi kesal. “Lalu bagaimana Ziiii?”
“Kamu penasaran ya?”
“Tentuuuuu.”
“Mereka diam sesaat hingga akhirnya respon mereka adalah satu hal yang tidak pernah kubayangkan.” Tidak seperti tadi, kali ini Dizi mulai bercerita sepotong-sepotong, sambil memikirkan ekspresi kesal Anna.
“Ziiii.”
“Mereka tertawa Annn… mereka tertawa karenaku. Aku ada di sana dan membuat mereka tertawa.”
“Apa itu bermakna untukmu?”
“Entahlah… tapi rasanya aku senang sekali. Aku tidak malu, mungkin saat itu aku tersenyum melihat mereka.”
“Karena itukah kamu menyukainya? Perempuan yang kamu ceritakan itu adalah mantanmu bukan?”
“Ya. Sejak saat itu aku mulai berinteraksi dengan mereka. Bayangkan saja kamu berada di dalam jurang yang gelap tanpa jalan keluar, tiba-tiba kamu melihat secercah cahaya yang memberi harapan dan sebuah tangga yang dapat kamu naiki untuk keluar dari jurang tersebut. Bukankah kamu akan merasa sangat bahagia karenanya?”
“Hmm… benar juga. Dia adalah sosok cahayanya?”
“Iya…”
“Bagaikan malaikat… kamu jadi jatuh hati padanya ya. Karenanya kamu bisa berubah ke arah positif.”
“Hahaha… engga sepenuhnya benar si. Cahaya itu memberi sebuah harapan. Tapi tangga lah yang membuat kita bisa keluar.”
“Gimana-gimana?”
Baru mau menjawab, lampu kafe sudah dimatikan, isyarat kecil untuk mengusir para pembeli yang masih duduk santai di meja mereka. “Nanti lagi deh kita lanjutkan sekalian main, kafenya mau tutup.” Dizi mengemasi sampah di meja dan membuangnya pada tempatnya lalu pergi.
“Ok” jawab Anna yang tentu belum dapat dibaca oleh Dizi yang sudah beranjak dari mejanya. Anna yang sudah memprediksikan jika butuh waktu lama untuk menunggu, ia menutup laptopnya dan beranjak dari kamarnya menuju dapur mencari camilan atau apapun makanan yang dapat dimakan.
Selesai~